Selasa, 26 Agustus 2008

GLOBALISASI DAN ANTROPOLOGI ( MENJADI ANTROPOLOG YANG PROGRESIF )


oleh : penyejuk hatimu

A.PENDAHULUAN
Berbicara mengenai globalisasi, serasa beribu-ribu halamanpun tidak cukup untuk memaparkan dan mendefinisikan dengan lengkap dan mendetail. Pembahasan globalisasi ini lebih cenderung hanya bersifat umum dan dikaitkan dengan antropologi, serta sikap seorang antropolog dalam mengahadapi gilasan zaman globalisasi.
Sejak tahun 1990-an, setelah keruntuhan negara raksasa Uni Sovyet dan berakhirnya the cold war (perang dingin), “globalisasi” merupakan kata yang paling sering diungkapkan baik oleh kalangan pakar, intelektual, politisi bahkan oleh masyarakat awam sekalipun. Globalisasi pada awalnya merupakan sebuah tatanan mekanisme pasar bebas multilateral, di mana tata perekonomian seluruh dunia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas yang lintas negara.
Pendorong utama terjadinya globalisasi adalah ekspansi kapitalisme global yang menuntut agar tata perekonomian dunia diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Untuk menjelaskan bahwa globalisasi identik dengan ekspansi kapitalisme global, maka perlu dijelaskan pengertian kapitalisme. Kapitalisme merupakan paham yang bertujuan untuk penumpukan modal (capital accumulation) melalui proses penanaman modal (capital investment). Pemenuhan kepentingan kapitalisme mendorong mengharuskan adanya ekspansi keluar wilayah dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin. Hal ini secara historis telah melahirkan penjajahan dan penaklukan oleh suatu negara terhadap negara lain (terutama oleh negara-negara barat penganut sistem kapitalisme terhadap negara-negara dunia ketiga). Akan tetapi pada masa kini, penjajahan fisik sebagaimana terjadi sampai tahun 1945 sudah tidak ada lagi (FX. Adi Samekto, 2005:38-39).
Mengingat kepentingan penumpukan modal menjadi tidak terbatas maka penjajahan fisik yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan harus diganti dengan sistem penjajahan baru, yang tujuannya tetap untuk ekspansi kapitalisme global oleh negara-negara maju. Untuk itulah dibuatlah strategi-strategi baru menghadapi negara-negara Dunia ketiga yang baru merdeka. Pembentukan Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund), GATT (General Agreement on Tariff and Trade) merupakan jawaban untuk melanggengkan dominasi kapitalisme (FX. Adi Samekto, 2005: 39).
Menurut Noam Chomsky (Nopriadi, 2007) tentang globalisasi.ia dengan lantang menyebut bahwa globalisasi sebagai konspirasi elite barat untuk mengukuhkan tirani swasta di seluruh dunia. Seperti yang kita pahami, dalam paradigma ekonomi neoliberal, swasta diposisikan menjadi aktor yang kuat sementara negara ditempatkan pada posisi yang lemah dalm urusan publik. Hal ini bukan sekedar proses alamiah, namun sebuah proses sistematis yang terencana bagaimana ideologi kapitalisme ini tersebar dan terimplementasi di seluruh dunia.

Teori Modernisasi Dalam Kapitalisme Global
Teori modernisasi atau juga disebut dengan teori pembangunan yang muncul setelah berakhirnya perang dunia II. Kemunculan teori ini dilatarbelakangi oleh negara-negara Eropa Barat yang mengalami kesulitan ekonomi akibat biaya perang. (FX. Adi Samekto, 2005: 53-54). Akibat kesulitan ekonomi, maka tidak dimungkinkan lagi melakukan dominasi dengan cara penjajahan fisik, maka dibuatlah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. Lembaga tersebut seperti World Bank, IMF, GATT. Lembaga inilah yang nantinya menjadi pendonor (baca: penghutang) bagi negara-negara dunia ketiga yang ingin melakukan modernisasi atau pembangunan.
Teori modernisasi ini diperuntukkan bagi negara-negara yang baru saja merdeka (yang diopinikan merupaka Negara yang belum modern, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan). Oleh karena itu mereka menyarankan kepada negara-negara yang baru merdeka (negara dunia ketiga) untuk melakukan modernisasi dan pembangunan sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara maju ( baca: imperealis). Dengan lembaga yang dimiliki oleh (IMF GATT, dll) mereka memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat mencekik (termasuk Indonesia) dan menimbulkan terjadinya inflasi (Dawam Raharjo, 1999 :67-70).

Dampak-Dampak Umum Globalisasi
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di Negara-negara berkembang (Dunia ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara tersbut melalui perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara Dunia ketiga (termasuk Indonesia), sehingga terjadilah kerusakan lingkungan.
Di negara Dunia ketiga, terjadilah kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (Negara), sehingga muncul “koalisi kepentingan”. Penguasa berkepentingan dengan keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (perusahaan korporasi multinasional) berkepentingan dengan terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal.
Menurut FX adi Samekto (2005), kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh imperialisme gaya baru kapitalisme global antara lain yaitu pelubangan lapisan ozon, pemanasan global, dan berkurangnya keragaman hayati. Oleh karena penyebabnya bersifat global, maka kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya pun global.
Menurut Edith Brown Weiss (FX. Adi Samekto, 2005: 73-74) menyatakan bahwa secara garis besar kapitalisme global melahirkan tiga hal yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan. Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya yang berkwalitas membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengkonsumsi sumber daya alam yang sama. Kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya, hal ini sangat merugikan kepentingan generasi mendatang, karena mereka harus membayar inefisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tersebut yang digunakan generasi sebelumnya. Ketiga, pemakaian sumber daya alam secara habis-habisan oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Selain masalah lingkungan muncul juga dampak negatif yang lain. Menurut Prof dr. Ir. Sutryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Pendidikan Tinggi Pendidikan Nasional Indonesia, dalam orasi ilmiah pada upacara dies natalis ke-50 Universitas Sumatera Utara tanggal 20 November 2002, globalisasi telah menimbulkan ketidakadilan yang cenderung meningkat dalam dekade mendatang, di mana negara berkembang mengalami masa transisi yang sulit untuk menjadi yang lebih kompetitif, transparan dan mampu mengikuti sistem pasar. Dalam masa transisi tersebut, harus diutamakan upaya untuk meminimalkan dan mengelola ketidakadilan serta penerapan sistem pasar yang seadil mungkin. (Nopriadi, 2007).
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa pendorong utama globalisasi merupakan mekanisme pasar bebas, di mana seluruh manusia dibebaskan mengembangkan kemampuan ekspansi pasarnya sampai lintas negara. Hal ini menyebabkan munculnya feodal-feodal baru yang menimbulkan ketimpangan yang juga baru. Ketimpangan ini disebabkan karena tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama dalam penguasaan pasar. Oleh karena itu bagi yang tidak memiliki kemampuan, maka ia akan tersisih oleh dominasi-dominasi para pemilik modal (capital). Semakin bertambahnya pengangguran yang mengakibatkan meningkatnya tingkat kriminalitas dan kemiskinan, terjadinya kelaparan yang merajalela di Papua dan NTT (2006), serta banyaknya anak-anak yang putus sekolah merupakan bentuk-bentuk ketimpangan tersebut akibat bentuk imperialisme baru kapitalisme global.



B.ANTROPOLOGI DALAM GLOBALISASI
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa globalisasi sangat erat kaitannya dengan kapitalisme dan pasar; atau dengan kata lain globalisasi merupakan tahap yang paling mutakhir dari perjalanan kapitalisme sejak kemunculannya abad ke-16 (Laeyendecker, 1983: 13-14). Menurut FX. Adi Samekto (2005: 16-32) ada 3 periode perkembangan kapitalisme yaitu pertama disebut sebagai periode kapitalisme liberal; periode kedua disebut dengan neo-liberalisme (neo-kapitalisme) serta periode ketiga disebut dengan periode kapitalisme tak terorganisir (period of disorganized capitalism) yang dimulai pada akhir 1960-an dan berlangsung hingga kini yang secara nyata berbentuk menjadi kapitalisme global (globalisasi).
Begitu pula halnya dengan antropologi. Perkembangan antropologi mengalami kemiripan dengan globalisasi. Antropologi juga sedikit banyak lahir dan berkembang dari rahim kolonialisme/imperialisme. Kemudian antropologi berkembang seiring dengan perkembangan imperialisme. Hingga masa globalisasi (baca: imperialisme gaya baru) seperti pada saat ini antropologi memiliki peran yang sangat penting yang juga dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan para kapitalis seperti pembuatan ISO, mencari data-data untuk melanjutkan pembangunan dan modernisasi, dan lain sebagainya.

Antropologi Awal
Antropologi muncul dilatarbelakangi oleh kedatangan orang Eropa di benua Afrika, Asia, dan Amerika sejak akhir abad ke-16. bersamaan dengan itu maka terbit berbagai macam tulisan etnografi (etmos berarti ‘bangsa’) yang sangat menarik perhatin bangsa Eropa pada waktu itu. sehingga memuculkan sikap-sikap yang memberikan stereotype kepada bangsa di luar Eropa, seperti anggapan bahwa orang-orang tersebut sebenarnya hanya manusia liar, kemudian muncul istilah savage, dan primitive (Koentjaraningrat, 2005:1-2) juga seperti yang ditulis oleh Edward B. Taylor (1832-1917) dalam karyanya yang spektakuler “Primitive Culture” (J. Van Baal, 1987:84). Dari asumsi awal itulah kemudian memunculkan karangan-karangan yang bahannya tersusun berdasarkan cara berfikir evolusi yang melihat masyarakat berkembang melalui beberapa tingkatan evolusi dan karangan-karangan yang berbasis teori diffusi yang memandang masyarakat mengalami penyebaran kebudayaan (Koentjaraningrat, 2005: 2). Setelah itu disusul kemunculan teori-teori fungsional (B. Malinowski), fungsional struktural (R. Brown) serta strukturalisme Perancis yang dimotori oleh Levi Strauss. Sehingga kemudian antropologi mendapatkan status sebagai ilmu yang mempelajari “others” (orang di luar Eropa).
Seperti yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat (2005:3) pada awal abad ke-20, sebagian besar negara penjajah berhasil memantapkan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan mereka. Sebagai ilmu yang mempelajari “others”, antropologi menjadi ilmu yang sangat penting demi terwujudnya kepentingan-kepentingan penjajahan. Sebagai contoh:, pada kuliah-kuliah B. Malinowski juga banyak dikunjungi oleh calon-calon pegawai pemerintah jajahan inggris, pendeta-pendeta penyiar agama, serta dokter-dokter yang ingin buka praktek di daerah jajahan Inggris (koentjaraningrat, 1987:162).
Di Indonesia sendiri, jurusan-jurusan antropologi tumbuh berkembang di masa ‘pembangunan’. Sejak kepulangan Prof. Koentjaraningrat dari Yale University, antropologi dikembangkan khusus untuk mengabdi kepada pejuang pembangunan yang berpangkalan di suatu universitas ternama di Jakarta dalam memodernkan bangsa Indonesia agar bisa tinggal landas menuju masyarakat adil dan makmur. Seperti buldozer, antropologi Indonesia bergerak ke berbagai pedalaman membukakan jalur yang akan melapangkan gerak pembangunan ke mana pun kapital ingin mengalir. Seperti teropong, antropologi Indonesia menyediakan pandangan yang bagi awam begitu jauh menjadi dekat. Dikumpulkanlah berbagai etnografi tentang masyarakat-masyarakat yang dianggap penting oleh penguasa.

Antropologi di Tengah-Tengah Globalisasi
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa modenisasi di segala bidang pada negara-negara dunia ketiga merupakan salah satu agenda globalisasi. Ciri-ciri dari modernisasi ialah memasukkan ide-ide atau materi-materi barat agar dipakai dan diadopsi oleh dunia ketiga. Oleh fred W. Rings menyebut proses modernisasi sebagai “westernisasi” (FX. Adi Samekto:2005). Seperti bisa kita lihat bahwa dampak dari proses westernisasi ternyata tidak sebagus embel-embel yang dipromosikan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, seiring dengan meledaknya jumlah penduduk di Indonesia. Pembangunan mall-mall megah, hotel berbintang lima, jalan bebas hambatan, busway, justru semakin mempertegas pernyataan bahwa kapitalisme global menimbulkan ketimpangan sosial yang dahsyat. Hal tersebut justru semakin memunculkan perbedaan kelas antara kelas kaya dan miskin (walaupun muncul juga kelas menengah). Terjadinya pengangguran yang luar biasa, semakin bertambahnya kaum miskin kota, anak-anak jalanan, pelacuran dan free sex. Akan tetapi bagi kelas yang kaya muncul budaya hedonistik, permisivisme, konsumeristik yang berlebihan, gaya hidup yang serba mewah dan berkelas, dan lain sebagainya; walaupun terjadi penggusuran disebelahnya mereka seakan acuh. Inilah fakta modernisasi yang sebenarnya yang dapat kita lihat dengan mata telanjang.
Dengan adanya dampak modernisasi tersebut, antropologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang pola kehidupan manusia mendapatkan lahan penelitian yang semakin luas dan kompleks. Saat ini kebanyakan antropolog sudah tidak lagi meneliti tentang masyarakat primitif di pedalaman Papua, Kalimantan, NTT dan sebagainya, akan tetapi lebih banyak memusatkan konsentrasi penelitian mereka pada masyarakat “modern”. Banyak muncul penelitian tentang perkembangan industri kecil dan munculnya elit-elit baru, pelacuran di suatu lokalisasi tertentu, anak jalanan, dan lain sebagainya yang lebih bersifat kekinian. Dengan berbagai macam latar belakang dan motivasi tertentu, baik itu penelitian pesanan maupun penelitian idealis, para antropolog dengan sangat tekun melakukan pengamatan dengan metode participant observation, live history maupun yang menggunakan metode-metode yang lain mengupas secara mendetail fenomena-fenomena baru dampak dari globalisasi.
Dalam perkembangan saat ini, batas-batas antropologi dengan ilmu-ilmu yang lain seperti ekonomi, sejarah, arkeologi, atau “saudara kandung”nya yaitu sosiologi menjadi sangat tipis. Saat ini banyak penelitian-penelitian dari program studi sosiologi mengupas hal-hal secara mendetail (sampai pada tingkat subculture), akan tetapi sebaliknya banyak dari penelitian-penelitian antropologi yang mengupas hal-hal yang lebih global, sebut saja “Friction” karya Anna L. Tsing (2005), “Sweetness and power” karya Sidney W. Mintz (1987), “Cows, Pigs, Wars and Witches” karya Marvin Harris. Karya-karya para antropolog tersebut juga mengkritisi permasalahan-permasalahan yang terjadi akibat dari dampak gelap globalisasi dan kapitalisme yang sedang mencengkeram dunia saat ini.
Selain itu seiring dengan bergulirnya pembangunan, semakin berkembang pula aliran-aliran antropologi yang sangat dibutuhkan pemerintah seperti antropologi ekonomi, antropologi sosial, antropologi kesehatan, serta aliran antropologi terapan yang lain. Walaupun sebenarnya antropologi terapan sudah muncul sejak pertengahan abad ke 19 (Koentjaraningrat, 1990:236).

C.ANTROPOLOG PEMBEBAS
Tujuan dari dikembangkannya ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari kondisi saat ini termasuk antropologi. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana antropologi di Indonesia seharusnya memosisikan diri dalam menyikapi ketidakadilan? Apakah penelitian jalan terus dengan mengedarkan daftar wawancara dan kuesioner yang terangkai indah tanpa kepekaan sosial pada perjuangan keseharian mereka yang tersisihkan? Menurut salah seorang dokter humanis, yang juga aktivis dan antropolog, Paul Farmer, yang dipertaruhkan oleh antropologi bukan hanya perdebatan akademis dengan adu kecanggihan teori, tetapi sebuah sikap pemihakan terhadap korban stuktural sebuah "patologi kekuasaan" (Degung Santikarma, 2007). Apakah antropologi tetap harus berpartisipasi dalam penyebaran virus imperialisme? Atau, bisakah antropolog di Indonesia memakai kemampuan mereka membangun komitmen baru serta mendiagnosis dan menyembuhkan patologi kekerasan?
Di era reformasi akhir-akhir ini budayawan berteriak lantang ketika seni etnik dilarang manggung, sistem kepercayaan yang dianut tak diakui, atau kurikulum tak bermuatan lokal, tetapi mereka tak terusik ketika masyarakat yang diteliti tak makan. Antropolog bekerja asyik mengumpulkan data untuk publikasi seru tentang ritus, kepercayaan, dan mitos lokal tanpa menghitung beberapa anak bangsa tidak bisa membaca sama sekali.
Haruskah ilmuwan sosial Indonesia hanya mementingkan tanggung jawab atas "karya besar" mereka sendiri, atau juga atas ekonomi moral di mana produksi intelektual terjadi? Antropologi berutang banyak dari kaum papa. Pengalaman yang didapat dari bergumul hidup dengan mereka yang terpinggirkan bisa menghasilkan karier, tetapi juga bisa menghasilkan senjata untuk menyerang mereka. Namun, antropologi bukan hanya sebagai pilihan profesi, tetapi juga "saksi" di mana tubuh korban kekerasan disiksa, disekap, dihancurkan, dibuang, diculik, bahkan dilenyapkan.
Pada dasarnya, sebagai disiplin ilmiah yang dikembangkan masyarakat borjuis di Jaman Kapital, sejak kemunculannya antropologi sangat revolusioner. Artinya, antropologi merupakan bagian tak terpisah dari gelombang besar revolusi-revolusi sosial di Eropa. Antropologi merupakan salah satu senjata borjuis dalam upayanya meruntuhkan gambaran dunia feodal yang didominasi pandangan keagamaan. Antropologi merupakan meriam panas yang meluluhkan gagasan feodal tentang masyarakat dan kebudayaan sebagai sesuatu yang ajeg dan sudah sedemikian adanya dalam suratan tangan Tuhan.
Di manakah kedudukan antropolog-antropolog dalam riuh rendah perjuangan kapitalisme ini? Apakah antropolog akan kembali menjadi bagian darinya seperti yang dilakukannya di kala kapitalis-kapitalis Eropa menghisapi negeri-negeri jajahan sekering-keringnya? Ataukah bertobat menebus dosa masa lalu dengan berpihak kepada golongan tertindas? Sudah saatnya para antropolog menjadi bagian dari barisan para intelektual yang progresif dalam membebaskan dunia ini dari ketidakadilan seperti Che Guevara, Sayyid Qutb, Ali Syariati, Taqiyyudin An Nabhani, Hasan Al Banna, dan kawan-kawan yang lain (Eko Prasetyo, 2007). Sudah saatnya antropolog menjadi pembebas ketimpangan seperti yang mereka lihat dalam penelitian-penelitiannya.




D.KESIMPULAN
Cengekaraman kapitalisme global dengan kemasan globalisasi menjadi ancaman utama masyarakat internasional saat ini. Dunia dan sumber dayanya dieksploitasi, dijarah, dijual dihabiskan demi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan menumpuk-numpuk kekayaan diri sendiri tanpa melihat lagi seberapa parah kerusakan lingkungan yang diakibatkan, tanpa mempertimbangkan lagi ketimpangan, kemiskinan, pengangguran, gelandangan dan bentuk-bentuk ketidakadilan yang lain.
Antropologi pada awalnya lahir seiring dengan muncul dan berkembangnya kolonialisme dan imperialisme fisik di dunia. Setelah sadar akan tingginya imperialisme fisik, maka Barat merubah strategi penjajahan mereka dengan mengubah imperialisme fisik menjasi imperialisme ekonomi dengan globalisasi dan modernisasi, atau juga disebut dengan istilah westernisasi. Bentuk real dari westernisasi adalah pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara dunia ketiga. Dengan adanya pembangunan di seluruh pelosok dunia ketiga, antropologi menjadi ilmu yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan tersebut.
Dampak dari modenisasi ternyata meninggalkan ketimpangan dan ketidakadilan. Kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, anak jalanan merupakan buah dari kapitalisme global gaya baru tersebut. Melihat hal ini apa yang seharusnya diperbuat antropolog?
Tujuan dari dikembangkannya ilmu pengetahuan adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dari kondisi saat ini termasuk antropologi. Seharusnyalah para antropolog mengambil peran untuk memperbaiki kondisi hitam yang diakibatkan oleh serakahnya kapitalisme global yang menghasilkan kerusakan di segala lapisan kehidupan.











DAFTAR PUSTAKA

Adi Samekto FX.
2005 Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anna L. Tsing
2005 Friction, An Ethnography of Global Connection. New Jersey : Princeton University press

Degung Santikarma
2007 sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/07/Bentara/1126545.htm

Dawam Rahardjo
1999 Orde Baru dan Orde Transisi, Wacana Kritis Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dan krisis Ekonomi. Yogyakarta: UII Press.

Eko Prasetyo
2007 Jadilah Intelektual Progresif !. Yogyakarta: Resist Book

Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat
1980 Sejarah Teori Antropologi III. Jakarta: UI Press.

Koentjaraningrat
2005 Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta.
Laeyendecker, L.
1983Tata Perubahan dan Ketimpangan, Suatu pengantar sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia
Nopriadi
2007 Memahami Globalisasi. Makalah yang disampaikan pada training Kapitalisme Pendidikan, Mei 2007 di Balai Kota Yogyakarta.

Sidney W. Mintz
1986 Sweetness and Power, The Place of Sugar in Modern History. London: Penguin Books.

Van Baal J.
1987 Sejarah Pertumbuhan teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970). Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar: